Pada
suatu malam di sekitar bulan Mei 2012, saya tengah berada dalam sebuah
rapat untuk membicarakan rencana peluncuran album terbaru Peterpan.
Hadir dalam rapat itu, antara lain, Mas Gumilang Ramadhan, salah satu
directur Musica Studio's, Bang Budi Suratman, Manajer Peterpan, dan
Reza, Drummer Peterpan. Personel lain tidak bisa ikut ambil bagian
karena memiliki kesibukan lain yang tidak bisa ditinggalkan.
Rapat sedikit terganggu oleh bisikan Kindi, asisten pribadi saya.
Wajahnya tampak serius saat membisikkan kabar ke telinga saya. Kabar
yang mencuri sedikit konsentrasi saya. Saya menoleh ke arah Kindi, dan
spontan berkata, "Ah, itu pasti hoax!" Kindi terdiam sebentar lalu
meninggalkan saya.
Sayapun melanjutkan rapat dan argumentasi yg
sempat terputus. Namun, setelah 20 menit, Kindi kembali menghampiri
saya. Kali ini wajahnya lebih serius daripada sebelumnya. Tidak ada kata
yg terucap kali ini. Dia hanya menyodorkan handphone-nya ke tangan
saya, dan lewat mimik wajahnya mempersilakan saya untuk melihat layar
handphone itu. Seketika suasana di kepala saya berubah.
Saya menjauh dari kebisingan rapat. Tempat itu ramai, tapi saya merasa sunyi.
Untuk beberapa saat saya merasakan nafas saya tertahan. Lalu saya
merasakan kepala saya hendak meledak. Saya menarik nafas panjang dan
membuangnya keras-keras hingga semua yang ikut rapat melihat ke arah
saya.
Saya yakin, melihat wajah saya, peserta rapat langsung
dapat menerka ada masalah sangat serius yang tengah saya hadapi. Saya
sendiri juga melihat ada masalah besar di hadapan saya sejak malam itu.
Dalam hitungan hari, masalah yg saya hadapi itu menjadi percakapan
semua orang, menjadi headline di media cetak dan elektronik, diberitakan
hampir setiap jam oleh media online.
Pikiran saya makin kacau.
Saya menghabiskan waktu di rumah, bertanya pada diri sendiri dan
mencoba mencari jawaban atas semua yang terjadi. Berbagai pemikiran
tentang banyak hal berputar di kepala saya. Otak saya bekerja sangat
keras, berpacu dalam lingkaran dan tidak menemukan jalan keluar.
Sedikit saya memutar waktu, melamun, menyusuri kehidupan saya beberapa
bulan kebelakang. Masa-masa dimana saya mengalami insomnia yang parah.
Masa-masa saya banyak mengalami kekosongan jiwa, yang kadang hanya bisa
tertolong dengan adanya kegiatan Peterpan atau bersama kekasih.
Kehidupan saya nyaris tanpa tujuan.
Saya ingat, suatu waktu
beberapa bulan sebelumnya, saya melakukan shalat dan berdo'a; hal yang
jarang saya lakukan. Saya ingat berdo'a demikian: "Tuhan, jangan lupakan
saya, jangan biarkan saya lepas tanpa arah."
Lalu, saya kembali ke hari ini.
Badan saya lemas, tidak mampu berdiri. Saya mencoba untuk hidup. Badan
saya mencoba untuk tetap menjalani hari, namun ia berjalan seperti
robot; sekedar makan dan minum. Terkadang saya hanya berbaring di
lantai. Kata yang keluar dari mulut saya hanya pertanyaan: "Tuhan,
tolong.... Apa gerangan yang terjadi?"
Pada hari-hari itu orang
dekat saya mencoba mengajak saya untuk bertukar pikiran, baik untuk
mencari solusi ataupun hanya sekedar meringankan beban. Ketika seorang
teman menganjurkan saya untuk menghubungi pengacara, saya malah balik
bertanya, "Pengacara? Mengapa saya membutuhkan pengacara?" Pertanyaan
itu muncul karena sejauh ini gambaran yang ada di kepala saya adalah
menunggu polisi menangkap orang yang telah dengan sengaja mengunggah
data itu ke dunia maya.
Namun, pada pekan-pekan itu keadaan
berubah-ubah tanpa arah dan berlangsung begitu cepat. Terlalu banyak intervensi, spekulasi, dan lain-lain di luar sana.
Akhirnya,
saya memutuskan mengikuti saran untuk mendapatkan seorang pengacara.
Seiring dengan keputusan itu, saya menjadi orang yang paling dicari
aparat kepolisian. Paling tidak, selama dua hari terakhir, saya harus
mencari tempat untuk menghilang sebelum akhirnya menyerahkan diri.
Selepas tengah malam, tanggal 23 Juni 2010, saya meninggalkan
persembunyian, bergegas menuju lapangan parkir sebuah hotel di kawasan
Semanggi, Jakarta Selatan. Di sana sudah menunggu pengacara saya dan
beberapa aparat kepolisian. Inilah keputusan saya; menyerahkan diri.
Sebelum saya menyerahkan diri, dua kali surat panggilan dari Barskrim
(Badan Reserse dan Kriminal) Mabes Polri dialamatkan kepada saya. Dua
kali pula saya memenuhi panggilan tersebut. Ketika memenuhi panggilan
pertama, pada pertengahan Juni 2010, saya datang dengan kondisi
kesehatan kurang prima. Suhu badan saya tinggi. Setelah diperiksa
dokter, pemeriksaanpun dihentikan. Seminggu kemudian, saya kembali ke
Barskrim untuk memenuhi panggilan yang kedua.
Lalu saya enerima
kabar bahwa pihak berwajib akan menahan saya. Apa dasar penahanan
tersebut? Saya maupun pengacara tidak mengetahui secara pasti. Karena
itu, sebelum mendapatkan alasan sebenarnya, pengacara menyarankan saya
untuk tiarap dulu, menjauhi sorotan publik.
Sepanjang dua hari
dipersembunyian, sejumlah diskusi denga pengacara berlangsung. Berbagai
hal dibahas, sejumlah alternatif ditimbang, termasuk konsekuensinya.
Salah satu kekawatiran aparat berwajib untuk menahan saya juga dibahas
waktu itu. Pihak kepolisian mengkawatirkan keselamatan saya, terutama
karena ada pihak-pihak yang ingin mencari saya.
Selama di
tempat persembunyian itu, saya melalu hari-hari yang penuh tekanan.
Meski raga ini kelelahan dan mata bisa terpejam berjam-jam, pikiran
tetap bekerja. Obat tidur akhirnya menjadi jalan keluar.
Saya
sempat berdiskusi dengan seseorang yang bisa dibilang tokoh agama. Kami
bercerita panjang lebar. Pembicaran kami menghasilkan pengertian yang
baik dan juga menguatkan saya.
"Mari hadapi ini!" begitu
kemudian yang ada di pikiran saya. Cukuplah semua pendapat dan pemikiran
yang pernah saya dengar. Keadaan sudah semakin mendesak.
Saya
coba mengumpulkan semua pikiran yang meringankan selama dalam perjalanan
menuju titik rendezvouz di lapangan parkir hotel itu. Termasuk
perkataan seseorang yang sempat menyejukkan. Dia bilang, "Paling hanya
empat hari ditahan."
Kenyataannya, empat hari itu menjadi dua
tahun satu bulan kurungan, atau lebih tepatnya 750 hari. Bila
diingat-ingat, saya tesenyum dibuatnya.
Pertemuan dengan aparat
kepolisian di lapangan parkir tadi hanya sebentar. Tak banyak yang
terjadi saat saya berada di sana. Saya turun dari mobil yang membawa
diri saya. Lantas saya mengambil waktu sebentar untuk memeluk erat-erat
satu persatu orang-orang terdekat saya. Saya tahu, kami semua masih
merasa berat dan masih menyimpan tanda tanya besar atas semua yang
terjadi. Namun kami percaya dengan keputusan ini, sebagaimana saya
percaya kepada rencana Tuhan, yang kadang sangat misterius.
Menjadi Tahanan Bareskrim
"Lalu kau injakkan kakimu untuk pertama kali di situ. Kau mencoba untuk
tenang, namun jantungmu berdetak keras. Kau mencoba untuk normal, namun
semua melihat wajahmu pucat. Mencoba menguatkan diri tapi tanganmu
bergetar. Pukul 2 pagi ini, setelah hari yang menegangkan dan menguras
semuanya, membuat badan dan pikiran berjalan tidak searah. Pikiranmu
tidak lagi menguasai badanmu, dan badanmu enggan mengenali pikiranmu."
Setibanya di Bareskrim Mabes Polri, setelah menjalani sedikit pemeriksaan dan menandatangani beberapa berkas, berjalanlah saya menuju pintu masuk tahanan. Saya diantar seorang penyidik. Di titik ini, teman terdekat saya melepaskan pelukannya.
Saya melewati batas itu sambil menenteng tas berisi pakaian secukupnya. Tanpa melihat ke belakang, saya berjalan melewati puluhan orang yang memang sudah berada di sana. Beberapa dari mereka mulai berdiri, seakan menyambut kedatangan saya. Lalu terdengar ada yang menyanyikan sedikit lagu "Ada Apa Denganmu", diikuti tawa. Saya tersenyum ke arah mereka, dan merekapun tersenyum hangat. Sebuah momen pertama yang menenangkan.
To be Continue .........
Yuk Gabung: https://www.facebook.com/ groups/bandnoah1/
SILAKAN SOBAT GUNAKAN FACEBOOK COMMENT di bawah ini: